SELAMAT DATANG DIWEBSITE RESMI SMPN 1 AMUNTAI UTARA

7 Agustus 2012

GURU INSPIRATIF


Oleh : Rhenald Kasali, Ph D
Ketua Program Magister Manajemen Universitas Indonesia

Dalam hidup kita ini, kita mengenal dua jenis guru, guru kurikulum dan guru inspiratif. Yang pertama amat patuh kepada kurikulum dan merasa berdosa bila tidak bisa menstransfer semua isi buku yang ditugaskan. Ia mengajarkan sesuatu yang standar (habitual thinking). Guru kurikulum mewakili 99 persen guru yang saya temui.

Jumlah guru inspiratif amat terbatas, kurang dari 1 persen. Ia bukan guru yang mengejar kurikulum, tetapi mengajak murid-muridnya berfikir kreatif (maximum thinking). Ia mengajak murid-muridnya melihat sesuatu dari luar (thinking out of box), mengubahnya di dalam, lalu membawa kembali keluar, ke masyarakat luas. Jika guru kurikulum melahirkan manajer-manajer andal, maka guru inspiratif melahirkan pemimpin-pembaru yang berani menghancurkan aneka kebiasaan lama.

Dunia memerlukan  keduanya, seperti kita memadukan validitas internal (dijaga oleh guru kurikulum) dengan validitas eksternal (yang dikuasai guru inspiratif) dalam penjelajahan ilmu pengetahuan.

Sayang, sistem sekolah kita hanya memberi tempat bagi guru kurikulum. Padahal, keberadaan guru inspiratif akan amat menentukan berapa lama suatu bangsa mampu keluar dari krisis. Semakin dibatasi, akan semakin lama dan semakin sulit suatu bangsa keluar dari kegelapan.

“Freedom Writers”

Karya-karya pembaruan, baik temuan spektakuler keilmuan, produk komersial, maupun gerakan social, akan tampak di masyarakat. Namun, tak dapat dimungkiri, semua itu berawal dari sekolah. Dari tangan dan pikiran guru-guru inspiratif yang gelisah dan melihat perlunya kreativitas. Ia memperbaiki hal-hal yang dipercaya banyak orang tidak bisa diperbaiki dan menghubungkan hal-hal yang tidak terhubung (connecting the unconnected).

Kisah dan karya guru inspiratif antara lain dapat dilihat pada Erin Gruwell, perempuan guru yang ditempatkan di sebuah kelas “bodoh”, yang murid-muridnya sering terlibat kekerasan antargeng. Berbeda dengan kelas sebelah yang merupakan kumpulan honors student, yang memiliki DNA pintar dan disiplin. Di honors classyang dibutuhkan adalah guru kurikulum.

Erin Gruwell memulai dengan segala kesulitan. Selain katanya “bodoh” dan tidak disiplin, mereka banyak melawan, saling melecehkan, temperamental, dan selalu rusuh. Di pnggang anak-anak SMA ini hanya ada pistol atau kokain. Di luar sekolah mereka saling mengancam dan membunuh.

Itu adalah kelas buangan. Bagi para guru kurikulum, anak-anak supernakal tak boleh disekolahkan bersama distinguished scholars.Tapi Erin Gruwell tak putus asa, ia membuat “kurikulum” sendiri yang bukan berisi aneka ajaran pengetahuan biasa (hard skill), tetapi pengetahuan hidup.

Ia mulai dengan sebuah permainan (line games) dengan menarik garis merah di lantai, membagi mereka menjadi dua kelompok, kiri dan kanan. Kalau menjawab “ya” mereka harus mendekati garis. Dimulai dengan beberapa pertanyaan ringan, dari album kesayangan, sampai keanggotaan geng, kepemilikan narkoba, dan pernah dipenjara atau ada teman yang mati akibat kekerasan antargeng.

Line games menyatukan anak-anak nakal yang melihat bahwa mereka senasib. Sama-sama was-was, hidup penuh ancaman, curiga kepada kelompok lain dan tak punya masa depan. Mereka mulai bisa lebih relaks terhadap guru dan teman-temanya serta sepakat untuk saling memperbarui hubungan. Setelah berdamai, guru inspiratif membagikan buku, mulai dari biografi Anne Frank yang menjadi korban kejahatan Nazi sampai buku harian. Anak-anak diminta menulis kisah hidupnya, apa saja. Mereka menulis bebas. Tulisan mereka disatukan, dan diberi judul Freedom Writers.Murid-murid berubah, hidup mereka menjadi lebih baik dan banyak menjadi pelaku perubahan di masyarakat. Kisah guru inspiratif dan perubahan yang dialami anak-anak ini didokumentasikan dalam filmFreedom Writers yang dibintangi Hilary Swank.

Keluar dari belengu

Apa yang dilakukan Erin Gruwell sebenarnya tidak hanya terbatas pada dunia pendidikan dasar, tetapi juga pada pendidikan tinggi. Namun, entah mengapa belakangan ini dunia pendidikan
kita kian mengisolasi diri dari luar dan hanya ingin menghasilkan lulusan yang terbelengu kurikulum.

Yang disebut dosen teladan adalah dosen yang patuh mengikuti kurikulum, menulis karya imiah di jurnal-jurnal tertentu yang sudah ditentukan, meski pembacanya belum tentu memadai, dan rajin mengisi absensi. Dengarlah protes Kazuo Murakami, Ph D, pemenang penghargaan Max Planck (1990) yang menulis bukuTuhan dalam Gen Kita : The Devine Message of The DNA(2007). Ia terpaksa hijrah ke AS saat menyaksikan dominasi guru-guru kurikulum di Jepang membangun benteng hierarki. Universitas, katanya, telah menjadi menara gading yang tak peduli dengan apa yang terjadi di luar.

Meski belum menonjol di masyarakat, peran guru-guru inspiratif ini amat dibutuhkan. Terlebih anggaran pendidikan kita masih terbatas dan lulusannya banyak yang tidak bisa bekerja sesuai dengan bidang studi yang ditempuhnya. Kita tidak bisa mendiamkan lahirnya generasi yang patuh kurikulum, pintar secara akademis, tahu kebenaran internal, tetapi kurang kreatif mendulang kesempatan dan buta kebenaran eksternal.

Ada dua masalah yang harus direnungkan. Pertama, dosen kurikulum hanya membentuk kompetensi (student’s ability), hanya membentuk beberapa orang, untuk kepentingan orang itu sendiri. Guru inspiratif membentuk bukan hanya satu atau sekelompok orang, tetapi ribuan orang. Satu orang yang terinspirasi menginsiprasi lainnya sehingga sering terucap kalimat “Aku ingin jadi seperti dia” atau “Aku bisa lebih hebat lagi.”

Kedua, ketidakmampuan para pendidik merespons aneka tekanan eksternal dapat membuat mereka membentengi diri secara berlebihan dengan mengunci kurikulum secara sacral. Tiap upaya yang dilakukan guru kreatif untuk meremajakannya dianggap ancaman, bahkan sebagai perbuatan tidak bermoral.

Masih teringat jelas, kejadian yang menimpa seorang guru inspiratif yang saya kenal. Pada tahun 2005 ia menerima penghargaan dari Yayasan Pengembangan Kreativitas atas karya-karyanya di bidang pendidikan. Saat itu, penghargaan serupa dalam setiap bidang juga diberikan kepada Helmi Yahya, Jaya Suparna, Bang Yos, dan Guruh Soekarno Putra. Akan tetapi, tak banyak yang tahu hari-hari itu ia baru saja menerima ancaman pemecatan karena dianggap melanggar “kurikulum”. Kesalahannya adalah telah memperbarui metoda pengajaran agar murid-murid menjadi lebih artikulatif. Murid senang tidak berarti guru-guru lain senang. Mereka merasa terganggu oleh penyajian di luar kurikulum dan mereka menuntut agar guru ini ditarik. Semester berikutnya nama dia dicoret dari daftar pengajar. Karir guru besarnya pun dipersulit oleh guru-guru kurikulum yang menggunakan kaca pembesar menguji kebenaran internal.

Kata Jagdish N Sheth, begitu orang lama menyangkal realitas baru, mereka dapat menjadi arogan, terperangkap kompetensi masa lalu, ingin hidup nyaman, dan membangun batas-batas kekuasaan territorial. Perilaku internal itu adalah belenggu inertia yang disebutdestructive habits. Mereka menggunakan mikroskop untuk memperbesar hal-hal kecil yang tidak dimiliki.

Sudah saatnya benteng inertia seperti ini dihapus dengan “memanusiawikan” kurikulum dan memberi ruang lebih memadai bagi guru-guru kreatif.
Share:

1 comments:

Anonim mengatakan...

Ternyata jadi guruh tidak mudah

PENGUMUMAN

- DOKUMENTASI PENGUMUMAN KELULUSAN BISA DIDOWNLOAD DIPOSTINGAN

- SULINGJAR GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN TERTANGGAL 11-20 AGUSTUS 2022

Translate