SELAMAT DATANG DIWEBSITE RESMI SMPN 1 AMUNTAI UTARA

11 Juni 2013

CERPEN

MERAJUT  ASA  DI TENGAH BADAI
      Karya : Rijali Hadi
(diangkat dari sebuah kisah nyata)
Baru berselang  sehari setelah berpulang sang  suami , Bu Erma turun ke kantor. Ia menenteng satu tas plastik transparan . Seperti ciri khasnya, iamasih bisa tersenyum membalas tegur sapa kolega kerjanya.

Dalam tas penuh dengan beberapa kartu identitas kepegawaian dan surat-surat lainnya yang  diperlukan untuk mengurus  uang duka, buku tabungan tunjangan sertifikasi almarhum, yang dua hari lalu belum selesai.  Ke kantor ia mau minta izin kepada atasannya untuk  ihwal di atas.



Jika memandang dari sampul luarnya, boleh dibaca ia tak terlalu merasa kehilangan atas kembalinya sang suami ke pangkuan Ilahi , terutama bagi wanita yang pernah ditinggal suami wafat. Akan tetapi, bagi orang yang selalu bergaul dan satu tempat kerja dengan Bu Erma bisa  maklum karena beliau selain terkenal ramah, juga penyabar.  Barangkali  di dalam hatinya , aku tak boleh cengeng, apalagi sampai meronta di hadapan Tuhan penguasa semesta . Ini  mesti kujalani. Ini sudah bagian dari skenario yang  telah aku tandatangi kontraknya ketika di alam rahim dulu. Sekarang, haruskah  aku  mencabut kontrak yang telah kububuhi  sidik jariku? Tidak. Tak ada untungnya aku berbuat demikian. Hanya akan memperdalam luka yang hari ini sedang kubalut . 
                
Di sisi lain, bagi siapapun , kematian  merupakan hal yang  sangat pahit dirasa. Apalagi bagi seorang wanita yang ditinggali  tiga orang anak perempuan yang belum mandiri. Dulu selagi sang suami masih ada,  hujan dan panas dibagi rata, pahit dan manis dibagi dua,  duka dan bahagia dibagi bersama, tak terkecuali persoalan ketiga buah hati. Kini, dalam kesendirian ia harus berjalan  menapaki lorong  yang masih tersisa dan berujung entah sampai di mana. Ia sendiri belum bisa meraba dengan pasti. Namun, di tengah keraguan, ada satu hal yang  tak boleh baginya ragu, yaitu matahari pasti lahir besok pagi. Ini kesempatan untuknya menjemur diri agar kembali tegar.       
                                                      *
 Angin siang cukup menghibur orang-orang yang merasa gerah lantaran cuaca cukup panas di siang itu. Bu Erma baru saja menuruni anak tangga marmer BRI Amuntai bersama Pa Syahid, sang suami. Tak biasanya Pa Syahid minta didampingi  dalam urusan yang bersangkut paut dengan Pa Syahid sendiri.
Kali ini entah mengapa, di pagi Senin tanggal pamungkas Bulan April ia minta didampingi sang istri mengurus buku tabungan peserta sertifikasi guru. Sebelum pulang mereka menyempatkan mampir di warung bakso. Keduanya terlihat santai sembari berbincang seputar persiapan acara  perkawinan  anak kedua mereka.

Sepulang dari Amuntai Bu Erma tidak langsung ke rumah. Ia singgah di sekolah tempat bekerjanya guna menyelesaikan pekerjaan yang masih  tersisa. Wajahnya tampak begitu ceria. Ada dua tiga kalimat yang meluncur dari bibirnya tentang kepergiannya bersama Pa Syahid tadi. Sungguh ia tampak bahagia. Namun, tak seorang pun menduga bahwa kepergian mereka bersama hari itu merupakan kepergian bersama  mereka yang terakhir. Tak ada firasat yang memberi tahu.

Kala  itu malam  sudah  merambat hampir setengah baya. Bu Erma dan suami masih sibuk mendata nama-nama yang bakal diundang di hari perkawinan anak mereka bulan depan. Pukul sebelas lewat Pa Syahid  mulai capek.

              “ Ma, Aku mau istirahat.”
              “ Ya,mama sebentar lagi.”

Pa Syahid masuk kamar. Puluhan menit berjalan, Bu Erma menyusul. Ia terkejut, sang suami bukannya tidur, tapi kelihatan gelisah.

              “ Kenapa, Bah?”  tanya Bu Erma singkat.
              “ Panas, badanku pegal.”

Bu Erma memijit badan Pa Syahid . Sekitar pukul 12.30 tubuh Pa Syahid kejang. Tanpa pikir panjang , setelah menghubungi keluarga yang lain, Bu Erma  yang dibantu tetangga dekat langsung membawa Pa Syahid ke Rumah Sakit Umum Pembalah Batung, Amuntai..   Tekanan darahnya terus naik.  Beliau dimasukkan ke ruang ICU.

Seperti terkonsep lebih dulu, lidah Bu Erma dengan lancar mengucapkan kata-kata maaf. Hal itu ia lakukan karena sudah melihat tanda-tanda  akhir kehidupan bagi Pa Syahid.

               “ Bah, mama minta maaf  jika selama ini mama ada khilaf pada abah. Maklum sekian   
lama kita  berumah tangga pastilah ada hal-hal yang tak semestinya mama lakukan..
               " Bah, maafkan mama.”

Hanya Tuhan yang tahu, apakah ucapan tersebut masih bisa didengar atau tidak oleh Pa  Syahid.

Pihak keluarga sempat gembira sebab dari layar monitor terlihat tekanan  darahnya sedikit turun. Merka tidak menduga bahwa turunya darah tersebut lantaran jantung yang memompa darah sudah lemah. Bermacam cara sudah  diperbuat oleh tim dokter yang menanganinya. Akan tetapi, Tuhan berkehendak lain. Akhirnya, sekitar pukul 02.00 waktu setempat lelaki yang sangat menyayangi keluarga dan pandai bergaul ini berpulang menghadap sang Khalik. Ia beristirahat untuk selamanya.   Begitu diberi tahu oleh perawat bahwa Pa Syahid sudah tiada, 
Bu Erma sempat tak percaya.

             “ Tidak, dia belum meninggal. Nih badannya masih panas.”
                
Dengan nada lembut seorang suster menjelaskan,”Memang, orang baru meninggal itu  seperti itu, Bu.”       
Bagai gempa  menggoncang. Dada terasa sesak. Butiran-butiran bening mengalir membasahi pipi wanita paruh baya ini.
                                                                                  *
Pukul 03.30 subuh kereta jenazah berhenti di halaman. Pelan-pelan keranda  diturunkan dan ditandu menuju rumah. Di rungan tengah jenazah dibaringkan, ditutupi dengan beberapa helai kain. Satu demi satu tetangga mulai berdatangan. Di menara pengeras suara musala dekat rumah duka terdengar pengumuman bahwa salah seorang warga mereka telah berpulang ke rahmatullah. Kerabat , sahabat  dan tamu lainnya bergiliran membacakan surat yasin serta mendoakan, semoga almarhum diterima oleh Allah swt. Di kamar yang pintunya tidak tertutup, Bu Erma membelai kepala putri bungsunya yang terisak ketika melihat sang ayah terbujur kaku. Ia mencoba memberi pengertian, meskipun dadanya sendiri penuh sesak  serta ingin menangis sejadi-jadinya.

Pukul 13.30 jenazah selesai disalatkan. Mobil ambulans sudah menunggu di depan musala yang akan membawa  ke pemakaman yang berjarak kurang lebih 3 km. Bu Erma sengaja tak ikut dalam  upacara pemakaman. Ia takut kalau-kalau tak mampu menahan emosi.

            “Selamat jalan suamiku terkasih. Semoga kau tenang di peristirahatanmu terakhir.”
          “ Semula aku memang sempat  bingung, apakah ikut atau  tidak. Tidak ikut disangka apa.  Jika ikut aku takut tak mampu menguasai emosi. Kuputuskan ,biarlah aku tidak ikut da  ripada nanti merusak  suasana pemakaman.”    
Begitulah yang disampaikannya ketika di kantor  kepada rekan kerja.
                                                                                *
Sebulan sudah berlalu. Dengan pelan Bu Erma  mulai mampu membuka kelopak jiwa yang semula  sempat kuncup . Langkahnya yang kemarin sempat terseok, kini sudah mulai  tegar. Ini bukan berarti ia begitu mudah melupakan almarhum. Apalagi lelaki yang menikahinya sejak  26 tahun yang lalu tersebut begitu menyayanginya . Tak ada cerita miring yang menimpa  biduk rumahtanga mereka. Aduhai kematian, mengapa engkau begitu cepat memisahkan mereka  padahal saat ini mereka sedang  menikmati indahnya  perjalanan setelah sempat dihempas badai.
             
Suatu hari ia mengunjungi makam Pa Syahid bersama anak-anak. Usai membaca surat yasin dan mengantarkan doa ,  ia berkata kepada anak-anak.
             “ Nah, dulu abah yang mendoakan kalian. Sekarang giliran kalian yang mendoakan abah.  Kirimlah  doa untuk abah sebanyak-banyaknya agar  abah makin tenang beristirahat.”
             
Pulang dari makam, ia kembali memandangi foto keluarga yang tergantung di ruang tengah. Seolah keluarga ini masih lengkap. Barangkali dalam hatinya ia berharap almarhum masih sudi sesekali datang, meski hanya dalam mimpi.
              “ Mama, bagi ulun abah itu masih ada . Dan ulun selalu curhat.” kata si bungsu pada ibunya beberapa hari setelah almarhum wafat. Kalimat tersebut bak luka tersiram air garam. Pedih rasanya jika dihayati.
             
Ya, hanya wanita-wanita yang pernah ditinggal suami wafat yang lancar bercerita, betapa pedih dan sangat pedih. Lorong waktu diputar balik.  Memori otak terus menayangkan  dengan apik episode demi episode masa lalu. Masa suka dan duka bersama suami, termasuk saat-saat bulan madu atau pun saat- saat bersama menaklukan prahara. Bagi Bu Erma, ia harus mampu menyisakan air mata. Bukan untuk menangis duka kedua kalinya, tapi menangis bahagia manakala bersenda gurau bersama anak-anak yang berbakti serta cucu-cucu yang  pintar dan lucu. Itulah sepotong asa yang masih tersisa untuk episode berikutnya.

====ooo00ooo====

              

Share:

1 comments:

Riza mengatakan...

cukup menyentuh juga...siip

PENGUMUMAN

- DOKUMENTASI PENGUMUMAN KELULUSAN BISA DIDOWNLOAD DIPOSTINGAN

- SULINGJAR GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN TERTANGGAL 11-20 AGUSTUS 2022

Translate