SELAMAT DATANG DIWEBSITE RESMI SMPN 1 AMUNTAI UTARA

11 Juni 2019

MENANTI HADIRNYA MATAHARI


Karya : ERhadi

Tujuh tahun berlalu hidup tanpa suami. Tak ada lagi tempatku bernaung, menyandar-kan tubuh ketika letih, tempat mengadu manakala hati sedang risau. Bila siang hari, atau masih bersama anak-anak dan cucu-cucuku, jiwaku utuh seperti tak pernah terjadi apa-apa. Namun, ketika semua pulang ke tempat masing-masing, aku baru merasa terasingkan. Peristiwa masa lalu merayapi pikiranku, masa yang padihnya tak mampu kuungkapkan dengan kata-kata. Separuh jiwaku terbang. Gempa yang pernah menggoncang penduduk negeri, belum sebanding dengan gempa yang meluluhlantakkan jiwaku.”
                                                                        *
            “Sebagai seorang perempuan normal, aku juga merindukan suasana seperti almarhum masih ada, pergi bersama, makan bersama,dan …. tidur bersama di kasur yang sama. Sebelum memejam mata, berbicang seputar ana-anak dan masa depan mereka, tentang pekerjaan di kantor, dan lain -lain. Kubayangkan kembali, bagaimana di tengah rasa kantuk yang berat, ia masih sempat membelai rambutku  yang tergerai di bantal dan mengucapkan kata-kata yang mungkin hanya kami yang tahu maknanya.”

             Ketika menjelang subuh, ia sudah berdiri di pinggir ranjang dengan  buju koko dan sarung yang rapi. Diucapkannya kembali kata-kata serupa yang membuatku ingin terus berlama-lama di sampingnya. Ia sangat pandai memanjakanku, membuat diri ini tak mungkin berlabuh ke lain hati meski digoda seribu pangeran dari negeri seberang. Duhai, mungkingkah romatisme seperti itu kembali kukecap sampai jasadku menjadi kaku.
                                                                        *
            “Di puncak lamunan, kupeluk guling yang biasa didekap suamiku. Kuciumi dengan segala kemesraan; ketenggelam wajahku padanya dan kusiram dengan seluruh air mata. Tangisku makin jadi, tangis kerinduan seorang perempuan yang pernah mereguk secawan madu kasih yang murni.” kenang Bu Erma.
                                                                        *
            Suatu ketika,saat ia ziarah ke makam ayah dan ibunya di Banjarmasin, tiba-tiba saja di tengah jalan menuju rumah, kakak perempuannya barkata,
            “Er, sebaiknya kamu menikah lagi!’
            Bu Erma cuma bisa diam. Ia belum  mampu menjawab ya atau tidak karena di kepalanya saat ini ada dua kekuatan yang saling tindih untuk menguasai kakinya buat melangkah. Di depan ada dua jalan yang sama-sama sulit untuk  ia lewati.
                                                                                    *
            “Er, hari ini kamu tinggal sendiri di rumah. Entah sampai kapan kamu bisa nyaman  men-
              jalani kehidupan seperti saat ini.” sambung kakanya sudah sampai di rumah.
            “Kamu hidup di hari ini, bukan di hari tujuh tahun yang lalu,Er.  Kita ini sudah tidak muda
              lagi. Artinya kita tidak sekuat dahulu memecahkan setiap persoalan yang hadir. Bagi
              kakak, kamu itu memelukan seorang lelaki yang setiap saat  mau membuka dadanya
              untukmu ; tempatmu menumpah berbagai persoalan. Apalagi saat ini tinggal satu saja
              anakmu yang masih dalam tanggunganmu. Kakak rasa, itu bukan halangaan untuk
              membuka kembali pintu rumahmu buat seorang laki-laki yang baik.
                                                                                    *
             Sambil mengangkat wajahnya,”Itulah masalahnya,Kak. Aku takut kadar cintaku terkurangi pada anak-anakku ketika hadirnya seorang lelaki yang  baru di rumahku. Di sisi lain, aku pun tak  mau jadi istri yang durhaka, lantaran kurang perhatian pada suami manakala anak-anakku membutuhka aku.”
            “Kakak paham itu. Kita  ini sama-sama perempuan, adikku. Apakah tidak ada  kerinduan sedik pun di hatimu bagaiman indahnya saat menunggui suamimu makan, menambahkan nasi yang ada di piringnya; menuangkan air ke gelasnya yang sudah berkurang.  Itu ladang pahala,Er. Kakak ini meski  sudah sama-sama tua, tetapi kakak masih mencoba sedapat-dapatnya melakukan itu. Kusambut Mas Herman di depan pintu sehabis ia pulang kerja atau  bepergian; kusiapkan handuk dan sikap gigi saat ia mandi; kurapikan temapt tidur manakala ia sudah mengantuk; kuhidupkan pula kipas angin ketika ia kegeraha…. atau kuselimuti manakala ia kedinginan. Pokoknya, semua kucurah, kutumpah habis untuknya, imamku, kekasihku yang telah memberiku  segalanya. Ayolah adikku!”

            Suasan hening beberapa saat. Bu Erma mengambil selembar tisu buat wajahnya yang sudah mulai membasah. Ia permisi mau ke kamar. Di kasur Bu Erma melemparkan badannya dengan posisi tengkurap. Dadanya sesak. Ia perturutkan saja air matanya yang jatuh berderai.  Di luar, di ruang keluarga, Bu Husna, kakak Bu Erma mamatikan TV, lalu menyusul Bu Erma ke kamar almarhum ibu mereka.
            Bu Husna membelai rambut adiknya.
            “Er, maafkan kakak. Kakak tidak bermaksud  lain, semata-mata hanya ingin melihatmu bahagia. Kakak ingin matahati itu kembali menyinari rumahmu hingga ke sudut-sudut yang gelap.
            Bu Erma membalikan badan, lalu duduk. Mereka berpelukan pertanda saling menya-
            yangi.
            Bu Erma melepaskan pelukannya. Ia menyimpul rambutnya yang tadi tergerai. Lalu…
            “Aku pertimbangkan saran kakak.”
            Menerima jawaban yang begitu cepat, Bu Husna tersenyum bahagia.
            “Bagus. Kakak senang mendengarnya. Namun,bila sudah ada keinginanmu ke arah itu,
              lakukan dulu komunikasi pra nikah, artinya katakan saja padanya dengan terus  terang
              bahwa saat ini kamu masih ada tanggungan satu anak yang terus memerlukan
              perhatian. Katakan saja! Jangan ada yang ditutupi-tutupi. Jika dia benar- benar meng-
              inginkanmu menjadi istri, dia pasti mau menerima kenyataan itu.”
    
                                                                                    *
             Keesokan harinya Bu Erma pulang. Ia harus turun kerja. Di kantor sudah menunggu
             seabrik pekerjaan.
                                                                                    *
           
            Larut malam, sahabis ritual Haulan suaminya, Bu Erma menatap foto keluarga semasa almarhum masih ada, foto yang tergantung di ruang tengah. Matanya fokus pada seorang laki-laki yang ada di foto figura  tersebut. Lama sekali ia mematung, seolah- olah ia sedang bicara padanya. Tak puas, lalu ia turun. Dengan jari gemetar dan dengan kalimat terpatah-patah….
            “ Mas, sampai saat ini aku masih istrimu. Aku yakin kamu tahu, bagaimana kegelisahanku ketika kerinduan itu datang. Seratus kali aku bertekat untuk tidak mencari penggantimu, seratus kali pula kerinduan itu hadir,
                                                                                    *
            Di luar sepi sekali, sesekali terdengar kepak kelalawar yang mencari makan. Langit mendung, purnama yang semestinya sudah muncul, kini disembunyikan awan pekat. Burung pungguk yang biasanya bekerja membuatkan rumah untuk rembulan kekasihnya, malam  ini tahu entah di mana. Tak lama hujan rintik pun turun, renyai menyentuh atap rumah. Dari dari kejauhan, di pematang sawah sayu-sayup terdengar lolong anjing liar yang mungkin sedang mengejar tikus sawah. Atau menurut kepercayaan segelintir orang, ia mungkin sedang melihat           
makhluk yang tak kasat mata.
                                                                                    *
            Jam dinding berdenting dua kali. Di tengah rasa kantuk yang masih berat, samar-samar pintu kamar diketuk. Dalam hati Bu Erma, “Ada apa Salma subuh-subuh begini?” Bu Erma bangun sambil menyimpul rambut, lalu beranjak menuju pintu. Begitu pintu dibuka, ia terperanjat, kaget bukan kepalang.
            “Lho, kamu ,Mas. Kapan ke sini.”
            Lelaki yang berpakaian serba putih itu tidak menjwab. Ia hanya tersenyum, kemudian berbalik ; berjalan memasuki kamar-kamar yang dulu ditempati oleh anak-anak Bu Erma. Bu Erma merasa panasaran, ia iringi saja di belakang. Terus, ia berjalan mengitari ruangan lain. Sampai di ruang tengah, ruang yang dulunya menjadi tempat keluarga bercengkerama dan menonton televisi, ia berhenti. Lalu menengadah, memandangai sebuah foto keluarga  yang tergantung di dinding, di atas lemari.  Cukup lama lelaki itu berdiri dan menengadah. Akan tetapi, tak sepenggala kalimat pun keluar dari bibirnya. Melihat keadaan demikian, Bu Erma makin penasaran. Barangkali merasa cukup, ia berbalik menghadap Bu Erma dengan kembali memberi sebuah senyuman. Kedua tangannya melepas surban hijau yang sejak tadi melingkar di kedua pundaknya. Surban tersebut lalu dikalungkannya ke lihir Bu Erma dengan sangat rapi. Terus, ia letakkan kedua tangannya di pundak Bu Erma sambil mengangguk –ngangguk seolah-olah memberi isyarat sesuatu untuk Bu Erma. Selanjut ia berbalik dan melangkah menuju pintu depan. Bu Erma memanggil.
            “Mas! Mau ke mana, mas?
            Lalaki itu tak menjawab. Ia terus saja melangkah. Bu Erma memanggil lebih keras
            “Mas, mau ke mana lagi? inikan rumahmu, rumah kita, Mas.”
            Kedua tangan Bu Erma menarik baju belakang laki-laki tersebut. Namun, tangannya tak menggapai apa-apak. Orang yang berpakaian serba putih terus berjalan. Bu Erma berteriak mencegahnya.
            “ Maaaaaas! Jangan pergi lagi! Jangan tinggalkan aku lagi,Mas!”  keras sekali.
            “Bu.. Ibu,! Ada apa, Bu? Kok Ibu ada di sini?” tanya Salma kaget, berlari dari  kamar sebelah. Salma adalah anak bungsu Bu Erma yang pulang kampung karena lagi libur kuliah.
            Bu Erma masih dalam sebuah ilusi. Salma mengangkat kedua lengan ibunya yang terduduk di lantai. Ia bimbing menuju kursi tamu. Setelah  itu ia berlari ke dapur mengambil segelas air putih.
            “ Minumlahlah, Bu”
             Setelah mulai tenang, ”Bu, coba cerita kepada Salma. Tadi ibu teriak-teriak, apa sebe-
             narnya yang terjadi pada Ibu?”
            “Bapakmu, Nak. Bapamu datang menemui ibu. Bapamu tersenyum pada ibu.” sambil terisak.
            “Lalu, mengapa Ibu samapai di sini.” Tanya Salma ingin jelas lagi.
            “ Ibu mengejar ayahmu. Makanya ibu sampai di sini.”
            “Ibu lagi mengigau.”
            ‘Tidak,Nak. Ini benar-benar nyata. Ini buktinya.”
            Bu erma menunjukkan selembar surban hijau yang dulu digunakan almarhun saat ke masjid, pengganti sajadah.
            “Aneh sekali, tapi ini kan surban ayah yang ibu simpan di lemari pakaian ibu.” ucap Salma membatin.
            Keesokan harinya,Minggu, Bu Erma mengajak Salma ke makam suaminya yang berjarak
kurang lebih tiga kilometer. Di atas pusara keduanya berdoa untuk almarhum.
                                                                                    *
Sepulang dari makam, Bu Erma kembali mengambil surban tadi. Ia tak habis pikir.                  “Kok bisa sih mimpiku seperti nyata. Padahal surban ini aku simpan rapi di lemari.
  Orang-orang pasti tidak percaya bila aku ceritakan. Ah, sudahlah, masa bodoh dengan
  mereka. Tapi…apa maksudnya Mas Syahid memberikan ini padaku? Apakah surban
  hijau ini sebagai isyrat darinya bahwa ia mengizinkanku untuk menikah lagi.” Lama
  sekali Bu Erma merenung sendirian dalam kamar.  
“Jika memang ini suatu isyarat, apakah aku benar-benar siap lahir batin untuk berumah
  tangga lagi? Dan seperti apa wujud laki- laki yang boleh masuk kamarku lagi?” Ibu Erma
  bertanya pada dirinya sendiri.
                                                                                    *
             Menjelang tidur Bu Erma ke belakang mengambil air wudu. Ia salat istiharah, memohon
 petunjuk,                                                                                                                                                     ”Yaa Rab, Engkaulah tempatku bermohon segala sesuatu.  Tolong beri hamba-Mu ini
  isyarat, jalan mana yang mesti aku pilih! Andai Engkau menginginku untuk menikah
  lagi, datangkan ke hadapanku seorang laki-laki yang tak kurang salehnya dibanding
  almarhum. Laki-laki yang bisa kujadikan imam dan tempatku menambatkan jiwa- raga.
Laki-laki yang tidak hanya mencintaiku, tapi juga mencintai anak dan cucu-cucuku. Dan
yang tak kalah pentinya Yaa Allah, ibarat pohon, hijaukan kembali daun  jiwaku ini agar
aku bisa berbunga lagi seperti awal aku menikah dengan almarhum. Kiranya semerbak
harum bungaku nanti bisa kupersembahkan kepadanya di setiap tarikan napasku.
               Aamin!”

                                                                                    **

Share:

TERSANDERA BAYANG-BAYANG PHP


Karya : ErHaDi

Januari 2019. Siang itu cuaca begitu terik, padahal dalam siklus tahunan,Januari merupakan bulan  musim hujan. Aku baru beberapa menit duduk di sofa ruang tamu dengan segelas teh yang tersedia tiap hari kerja. Lumayan lelah. Tiga jam pelajaran aku berdiri di depan kelas 9B membedah DETIK-DETIK, buku rangkuman materi Kisi-Kisi Ujian Nasional tahun ini. Baru dua tiga seduhan kuhirup pelumas tenggorokan itu, Bu Yeti datang menemaniku ngobrol seputar anak-anak yang masih ada ketahuan merokok ketika menuju dan pulang sekolah. Ceritanya kutanggap seperlunya, maklum aku juga lagi berpikir serius, bagaimana kiat agar siswa kelas sembilan yang berjumlah empat puluh lebih ini lulus dengan nilai lebih bagus dari tahun lalu.   
            Belum lima menit dialog kami berjalan, Bu Yeti yang merupakan guru BK, mendadak beralih topik pembicaraan. Sambil sedikit menggeser tempat duduknya, ia membuka kata…
            “Pak!”
            “Ya, ada apa, Bu?” jawabku singkat. Siang itu kantor lagi agak sepi. Sebagian guru masuk kelas dan yang lagi lagi tugas luar, mengikuti MGMP di kabupaten.
            “Tolong bantu saya, Pak!”
            “Iya, apa yang bisa kubantu,Bu.?”
            “Begini, Pak,kemarin ayah dan ibu meminta saya untuk segera menikah,kebetulan ada
              lelaki yang berhasrat kepada saya.
            “Wah, bagus dong. Berarti doaku terkabul. Lalu….?”
            “Saya bingung, soalnya saya belum mengenal lebih jauh kepribadian orangnya. Lagi pula
               saya  belum ada rasa padanya.”
            “ Ah itu soal gampang. Bukankah cinta itu bisa datang belakangan, alias sudah menikah.
               Pacaran yang halal itu adalah pacaran setelah ijab- kabul. Yah, istilah lainnya  bulan 
                madu. Bu Yeti, cinta kita terhadap pasangan bisa saja mengecambah  bila mendapat
                sebuah rangsangan  berupa perhatian yang cukup, pengertian, pandai mengalah dan,
                lain-lain.  Yang tak  kalah penting kamu pikirkan  saat ini adalah, apakah maunya laki-
                laki itu padamu didasarkan atas sebuah ketertarikannya  pada kepribadianmu …. atau
                hanya sekadar ingin hidup menumpang  pada kemapanan ekonomimu.”
           
               Bu Yeti diam beberapa saat, sepertinya dia sedang mencerna kata-kataku tadi.
Sementara menunggu tanggapannya, kuraih  gelas minuman yang ada di depanku.

            “Inilah masalahnya,Pak. Saya benar-benar dihadapkan pada situasi yang serba sulit un-
              tuk diputuskan. Tadi pagi, saat sarapan,bapak kembali meminta kesediaan saya untuk
              menerima  lamaran itu. Saya hanya diam, takut bapak dan ibu kecewa.


            ‘”Ti, dulu kamu menolak lamaran  Darma dengan alasan kamu ingin membantu ayah
              membiayai  kedua adikmu yang masih kuliah. Nah, sekarang, apalagi,Ti. Adikmu yang
              perempuan sudah menikah. Sementara Rahman sudah bekerja. Tidak ada lagi yang
              menghalangimu untuk berumah tangga.” ujar Ayah dengan nada mendesak.
            “Bapa dan mamamu ini sudah cukup sabar,Ti, mendengar suara-suara sumbang di luar
              sana tentang kamu.” timpal Mama.

            “Sebenarnya saya mencoba menyelami perasaan mereka berdua,Pak. Hati saya lagi
               terbelah. Di satu sisi saya tidak ingin membuat  orang yang telah melahirkan dan mem-
              besarkan saya tersakiti oleh sikap saya. Namun, di sisi yang saya juga punya hak untuk
              menentukan pilihan.”
            “Sudah, jika begitu masalahnya, kamu minta tempo untuk berpikir. Lakukan istiharah,
              mengadulah kepada Yang Mahatahu akan segala persoalan. Setelah itu kamu baru
              mengambil sikap, merima atau menolak dengan manis. Andai dalam istiharah hatimu
              terbuka untuknya,  maka saranku setelah lamaran itu dilakukan kamu wajib melakukan
              MoU, yaitu sebuah perjanjian.
              “Maksudnya,Pak?” ia menatapku serius.
              “Sampaikan kepada keluarga meraka bahwa kamu ini adalah seorang PNS yang terikat
              dengan sumpah dan aturan. Misalkan dalam hal waktu, kamu tidak bisa diatur seke-
              hendak suamimu bila sudah menikah. Sebagai contoh, suamimu tidak bisa memaksa-
              kan makan siang bersamamu tepat sehabis zuhur atau seperti kebiasaan orang kam-
              pung yang makan pulang dari sawah atau dari kebun. Katakan pada mereka bahwa se-
              jak pukul setengah delapan  sampai dengan pukul setengh tiga kamu tersandera di
              sekolah karena itu jam kerja seorang pegawai negeri. Bila ia menginginkan selain itu,
              maka sebaiknya ia mencari perempuan lain yang bukan pengawai negeri.
                                                                        *
              Suasana hening sejenak. Kulihat wajahnya sedikit tertunduk. Lalu….

             “Andai dalam istiharah nanti ada isyarat untuk menolak, apa yang mesti saya katakana
               Kepada bapak dan ibu, juga kepada keluarga sebelah?”
             “Begini. Katakan saja pada ortumu bahwa perkawinan itu mesti dilandasi sebuah kese-
              pakatan. Calon suamimu wajib menerimamu secara  apa adanya, bukan seadanya.
              Perkawainanmu nanti – jika terjadi- tidak sebatas mengubah status dari Nona ke Nyo-
              Nya, atau hanya ingin mendapatkan keturunan. Katakan pada ortumu bahwa kamu
              lebih bahagia menyandang pridikat perawan berumur tak kawin-kami ketimbang
              menjadi janda yang dipandang sebelah mata.”



              Maaf, Bu Yeti, mungkin aku terlalu mengguruimu!”
             “Oh, tidak,Pak.” ia seperti terperanjat.  “Saya suka diberi solusi. Bapak  sudah saya
              anggap  seperti keluarga sendiri.
                                                                        *
              Kami sama-sama menghela napas.

             “Nah, dengan keluarga sebelah gimana caranya menolak?”
              “Katakan saja pada mereka bahwa saat ini kamu belum bisa menjadi istri yang baik. Jadi
              lebih baik tidak diterima daripada nantinya berpisah, bersimpang jalan.”

              Bu Yeti, menurut asumsiku, janda ditinggal mati jauh lebih terhormat dibandingkan
              dengan janda dicerai hidup.
                                                                                    *
                                   
             Aku diam. Kubiarkan kembali ia membedah bahasaku tadi. Aku berdiri menekan tombol on kipas angin yang sejak tadi hanya diam menyimak pembicaraan kami. Andai saja diberii izin, mungkin saja ia ikut nimbrung  diskusi kami yang sudah berjalan  lebih dari seperempat jam.

               Setelah kurasa cukup., aku lanjutkan lagi.

            “Bu Yeti, aku tegaskan lag, perkawinan itu harus dilandasi sebuah kesepakatan. Sepakat
               membagi rasa, sepakat saling jujur, dan sebagainya.
             “Perkawinan itu bukanlah akhir perjuangan cinta sepasang kekasih, melainkan awal
               kesepakatan untuk menyibak semua rintangan yang siap menghadang. Ini juga pernah
               kusampaikan kepada anak lelakiku menjelang pernikahanya tempo hari.  Hidup ini  
               penuh  dengan tikungan tajam. Bila kita kurang hati-hati, kita bisa celaka karenanya.
               Babak belur yang kita derita belum tentu sembuh barang seminggu.
               Lebih-lebih dalam berumah tangga. Suami sebagai sopir wajib diingatkan oleh sang istri
               yang duduk di samping. Jadi, seorang istri bukanlah penumpang yang bisa tidur seenak-
             nya. Ia tak ubahnya seorang napigator dalam dunia balap mobil, yang selalumemberi-
               kan informasi keadaan jalan di depan. Aku rasa Ibu mengerti yang kumaksud?”
               Ia mengangguk. ”Ya,Pak.”
                                                                                    *
              Pembicaraan terputus ketika  ada tamu yang mencari Kepala Sekolah.

              Menjelang  pulang, menuju parkiran…
            “Malam nanti saya akan lakukan saran Bapak tadi.”
            “Ya,Bu. Moga ada solusi.” aku membalas, lulu berpisah.

                                                                                    *
              Seminggu kemudian….
             
              Di ujung malam,menjelang subuh, dalam untaian doa untukku dan keluargaku,seketika  terbayang wajah Bu Yeti. Tanpa dipandu lidahku langsung merangkai doa untuknya.
            “Ya Rabb. kutahu Kau tak pernah tidur. Kau tahu yang sedang menimpa diri sahabatku,
              Bu Yeti. Berikan pilihan sebaik-baik pilihan untuknya. Rabb, cinta-Mu begitu agung bagi
              kami. Berikanlah segegam cinta-Mu sebagai modal kami untuk mencintai-Mu lebih
              banyak  lagi” Kututup doa itu dengan beberapa tetes air mata.
                                                                                    *
             Keesokan harinya aku turun lebih awal mengingat hari itu aku tugas piket bersama Pa Rahmadi. Kebiasaan kami di depan pintu masuk menyalami siswa yang akan menuju kelas masing-masing. Agar wudu kami tak batal menyalami murid lawan jenis, kami menggunakan sarung tangan tipis. Pukul tujuh tiga puluh semua siswa berbaris di depan kelas dengan senandung lagu Indonesia Raya tiga oktaf . Siswa masuk dan berdoa yang dilanjutkan membaca surat-surat pendek.
              Di meja piket aku menulis catatan harian seputar kegiatan hari itu, termasuk siswa yang tidak hadir.
              Dari arah parkeran guru, masih agak jauh, Bu Yeti menyapaku.
            “Pak,Hadi!” sambil berjalan ke arahku dengan raut wajah enteng.
            “Oh,Ibu. Gimana kabarnya,nih? Baik-baik saja,kan?” jawabku sambil menadai siswa
              yang absen.
            “Alhamdulillah,nanti kita bicara.” sambil tersenyum, terus berlalu masuk ke ruang guru meletakkan tas kerjanya.
            “Ya,Bu.”
                                                                 *
              Hari ini aku mengajar cuma dua jam, di kelas delapan, agak siang. Seperti biasa kuhidupkan on Samsung Androit-ku. Kubuka youtobe mencari ceramah ustaz-ustaz idolaku, semisal UAS, Ustaz Adi Hidayat,dll. Di ruang guru sedikit sepi kerana enam orang guru masuk
Kelas, ada yang  di ruang komputer, dan sebagiannya sibuk dengan HP-nya masing-masing.
          Dari arah pintu ruang  guru, Bu Yati memanggilku. Aku beranjak menemuinya. Aku pikir pasti ada kaitannya dengan persolan kemarin. Oh, ternyata benar. Bu Yeti mau  menceritakan
perihal  hasil istiharahnya..
             “Pak, saya sudah lakukan apa yang Bapak sarankan.Saya berpasrah meninta petunjuk.
              Ternyata hasilnya hati saya masih terasa berat mengabulkan harapan lelaki itu, juga
                harapan ortu saya.” Saya sudah berbicara dengan ayah dan ibu.”
             “ Bagaimana tanggapan mereka? desakku sudah tak sabar.
             “Saya utarakan di hadapan ayah dan ibu semua yang Bapak uraikan tempo hari. Kedua-
               nya bisa memahami.
              “Iya,Yeti, bagaimanapun yang menikah adalah kamu, bukan kami. Jadi yang bisa
                 menangkap sinyal negatif ke depan adalah kamu sendiri. Kami juga tak rela melihatmu
                menderita dalam rumah tanggamu nanti.” ujar ayah.
              “Ibu sambil mengusap air mata, `Benar apa kata ayahmu,nak. Kami ingin melihatmu
                bahagia seperti adik perempuanmu. Moga kami diberi panjang umur sehingga bisa
                melepasmu dalam bahtera rumah tangga dengan lelaki pilihanmu, lelaki yang men-
                cintaimu lahir batin, bukan lelaki yang hanya pandai  mendustaimu.” kata Bu  Yeti
                menirukan ibunya.
                                                                                  *
              “Pak, malam  yang lalu, selesai salat isya aku masuk ke kamar Ibu. Beliau masih duduk
                di  selembar sajadah. Saya tunggu sampai Ibu selesai berdoa. Saya peluk ibu erat-erat,
                sambil saya bersiki, “Bu, maafka anakmu ini yang sudah banyak menyusahkanmu.”
              “Tidak,nak. Justru kami yang berdosa padamu, terlalu memaksakan kehendak.Kami
                lupa bahwa kamu sudah dewasa.”
              “Hati saya makin luluh,Pak.Terus pagut dan saya ciumi pipinya yang sudah mulai
                keriput .Saya menangis sejadi-jadinya.Jiwa saya terbang entah ke mana. Tak saya
                sadari ,saya sudah berada dalam pangkuan Ibu. Ia belai rambut saya yang tergerai.
              “Ibu sangat sayang kamu,Nak”
              “Saya juga,Bu”
                Saya tengadah wajahnya…dan beberapa butiran bening jatuh di atas wajah saya.”      

                                                                                    *
               Hening sejenak. Aku ikut terharu, hanyut dalam alur cerita Bu Yeti.                                                                     
             “ Pihak sebelah sudah kamu sampaikan juga dalih yang sama?” kusambung lagi.
             “ Iya,Pak. Saya langsung telepon adiknya yang sejak awal menjadi wakil dari keluarga
               mereka. Intinya, adiknya bisa menerima alasan yang saya kemukakan. Di akhir telepon
               tersebut saya tak lupa berharap agar hubungan antara kami tetap baik seperti sedia
               kala. Sebenarnya kami masih ada hubungan keluarga dengan mereka. Lelaki itu kakak
               kelas saya,lho,Pak, di MTs dulu.”
               Ah, jika begitu, baguslah. Saya juga ikut lega.”

                                                                          *
              Jika boleh jujur, aku sebenarnya gembira andai ada titik temu keduanya. Akan tetapi,
ya apa mau dikata jika memang Tuhan sudah berkehendak demikian. Sampai sekarang aku terus menerawang, mencoba mencari tahu, apa sih sebenarnya yang membuat hati Bu Yeti tertutup terhadap laki-laki tersebut, termasuk seorang duda beranak satu yang telah menyatakan ketertarikannya lewat WA yang Ibu Yeti tunjukkan padaku. Meski tak valid, kucoba membuat sebuah kesimpulan bahwa ketertutupan hati Bu Yeti terhadap beberapa laki-laki - tak kurang dari empat atau lima orang - adalah: Pertama, ia sulit melupakan kesan cinta pertamanya yang ia dapatkan dari seseorang, meski kini orang tersebut tak ada di sampingnya. Ini barangkali makna peribahasa Arab, HUBBUL AWWALU KANNAKSI `ALAL HAJAR ( Cinta pertama itu laksana mengukir di atas batu).  Kedua, ia trauma lantaran dihianati atau didustai berkali – kali oleh laki-laki yang tadinya sempat menyemai benih kasih, tetapi berbuah PHP. Ketiga, di otaknya tertancap sebatang jarum kengerian yang disebabkan adanya  potrit suram rumah tangga orang dekatnya atau sahabatnya. Dengan demikian, Ia terus berhalusinasi bayangan hitam yang menghantui setiap ada laki-laki yang ingin dekat dengannya.
                       
                                                                        *
            Beberapa hari yang lalu saat tasmiahan kepenakannya kubisikan ditelinganya ketika ia
berjungku meletakan beberapa panganan di samping kananku.  
            ”Cepat kawin agar bisa seperti ini!” Dibayarnya bisikan itu dengan seulas senyum yang mungkin  bisa meluluhkan hatinya sendiri nanti. Semoga….

             
                                                                        **

Share:

PENGUMUMAN

- DOKUMENTASI PENGUMUMAN KELULUSAN BISA DIDOWNLOAD DIPOSTINGAN

- SULINGJAR GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN TERTANGGAL 11-20 AGUSTUS 2022

Translate