SELAMAT DATANG DIWEBSITE RESMI SMPN 1 AMUNTAI UTARA

11 Juni 2019

MENANTI HADIRNYA MATAHARI


Karya : ERhadi

Tujuh tahun berlalu hidup tanpa suami. Tak ada lagi tempatku bernaung, menyandar-kan tubuh ketika letih, tempat mengadu manakala hati sedang risau. Bila siang hari, atau masih bersama anak-anak dan cucu-cucuku, jiwaku utuh seperti tak pernah terjadi apa-apa. Namun, ketika semua pulang ke tempat masing-masing, aku baru merasa terasingkan. Peristiwa masa lalu merayapi pikiranku, masa yang padihnya tak mampu kuungkapkan dengan kata-kata. Separuh jiwaku terbang. Gempa yang pernah menggoncang penduduk negeri, belum sebanding dengan gempa yang meluluhlantakkan jiwaku.”
                                                                        *
            “Sebagai seorang perempuan normal, aku juga merindukan suasana seperti almarhum masih ada, pergi bersama, makan bersama,dan …. tidur bersama di kasur yang sama. Sebelum memejam mata, berbicang seputar ana-anak dan masa depan mereka, tentang pekerjaan di kantor, dan lain -lain. Kubayangkan kembali, bagaimana di tengah rasa kantuk yang berat, ia masih sempat membelai rambutku  yang tergerai di bantal dan mengucapkan kata-kata yang mungkin hanya kami yang tahu maknanya.”

             Ketika menjelang subuh, ia sudah berdiri di pinggir ranjang dengan  buju koko dan sarung yang rapi. Diucapkannya kembali kata-kata serupa yang membuatku ingin terus berlama-lama di sampingnya. Ia sangat pandai memanjakanku, membuat diri ini tak mungkin berlabuh ke lain hati meski digoda seribu pangeran dari negeri seberang. Duhai, mungkingkah romatisme seperti itu kembali kukecap sampai jasadku menjadi kaku.
                                                                        *
            “Di puncak lamunan, kupeluk guling yang biasa didekap suamiku. Kuciumi dengan segala kemesraan; ketenggelam wajahku padanya dan kusiram dengan seluruh air mata. Tangisku makin jadi, tangis kerinduan seorang perempuan yang pernah mereguk secawan madu kasih yang murni.” kenang Bu Erma.
                                                                        *
            Suatu ketika,saat ia ziarah ke makam ayah dan ibunya di Banjarmasin, tiba-tiba saja di tengah jalan menuju rumah, kakak perempuannya barkata,
            “Er, sebaiknya kamu menikah lagi!’
            Bu Erma cuma bisa diam. Ia belum  mampu menjawab ya atau tidak karena di kepalanya saat ini ada dua kekuatan yang saling tindih untuk menguasai kakinya buat melangkah. Di depan ada dua jalan yang sama-sama sulit untuk  ia lewati.
                                                                                    *
            “Er, hari ini kamu tinggal sendiri di rumah. Entah sampai kapan kamu bisa nyaman  men-
              jalani kehidupan seperti saat ini.” sambung kakanya sudah sampai di rumah.
            “Kamu hidup di hari ini, bukan di hari tujuh tahun yang lalu,Er.  Kita ini sudah tidak muda
              lagi. Artinya kita tidak sekuat dahulu memecahkan setiap persoalan yang hadir. Bagi
              kakak, kamu itu memelukan seorang lelaki yang setiap saat  mau membuka dadanya
              untukmu ; tempatmu menumpah berbagai persoalan. Apalagi saat ini tinggal satu saja
              anakmu yang masih dalam tanggunganmu. Kakak rasa, itu bukan halangaan untuk
              membuka kembali pintu rumahmu buat seorang laki-laki yang baik.
                                                                                    *
             Sambil mengangkat wajahnya,”Itulah masalahnya,Kak. Aku takut kadar cintaku terkurangi pada anak-anakku ketika hadirnya seorang lelaki yang  baru di rumahku. Di sisi lain, aku pun tak  mau jadi istri yang durhaka, lantaran kurang perhatian pada suami manakala anak-anakku membutuhka aku.”
            “Kakak paham itu. Kita  ini sama-sama perempuan, adikku. Apakah tidak ada  kerinduan sedik pun di hatimu bagaiman indahnya saat menunggui suamimu makan, menambahkan nasi yang ada di piringnya; menuangkan air ke gelasnya yang sudah berkurang.  Itu ladang pahala,Er. Kakak ini meski  sudah sama-sama tua, tetapi kakak masih mencoba sedapat-dapatnya melakukan itu. Kusambut Mas Herman di depan pintu sehabis ia pulang kerja atau  bepergian; kusiapkan handuk dan sikap gigi saat ia mandi; kurapikan temapt tidur manakala ia sudah mengantuk; kuhidupkan pula kipas angin ketika ia kegeraha…. atau kuselimuti manakala ia kedinginan. Pokoknya, semua kucurah, kutumpah habis untuknya, imamku, kekasihku yang telah memberiku  segalanya. Ayolah adikku!”

            Suasan hening beberapa saat. Bu Erma mengambil selembar tisu buat wajahnya yang sudah mulai membasah. Ia permisi mau ke kamar. Di kasur Bu Erma melemparkan badannya dengan posisi tengkurap. Dadanya sesak. Ia perturutkan saja air matanya yang jatuh berderai.  Di luar, di ruang keluarga, Bu Husna, kakak Bu Erma mamatikan TV, lalu menyusul Bu Erma ke kamar almarhum ibu mereka.
            Bu Husna membelai rambut adiknya.
            “Er, maafkan kakak. Kakak tidak bermaksud  lain, semata-mata hanya ingin melihatmu bahagia. Kakak ingin matahati itu kembali menyinari rumahmu hingga ke sudut-sudut yang gelap.
            Bu Erma membalikan badan, lalu duduk. Mereka berpelukan pertanda saling menya-
            yangi.
            Bu Erma melepaskan pelukannya. Ia menyimpul rambutnya yang tadi tergerai. Lalu…
            “Aku pertimbangkan saran kakak.”
            Menerima jawaban yang begitu cepat, Bu Husna tersenyum bahagia.
            “Bagus. Kakak senang mendengarnya. Namun,bila sudah ada keinginanmu ke arah itu,
              lakukan dulu komunikasi pra nikah, artinya katakan saja padanya dengan terus  terang
              bahwa saat ini kamu masih ada tanggungan satu anak yang terus memerlukan
              perhatian. Katakan saja! Jangan ada yang ditutupi-tutupi. Jika dia benar- benar meng-
              inginkanmu menjadi istri, dia pasti mau menerima kenyataan itu.”
    
                                                                                    *
             Keesokan harinya Bu Erma pulang. Ia harus turun kerja. Di kantor sudah menunggu
             seabrik pekerjaan.
                                                                                    *
           
            Larut malam, sahabis ritual Haulan suaminya, Bu Erma menatap foto keluarga semasa almarhum masih ada, foto yang tergantung di ruang tengah. Matanya fokus pada seorang laki-laki yang ada di foto figura  tersebut. Lama sekali ia mematung, seolah- olah ia sedang bicara padanya. Tak puas, lalu ia turun. Dengan jari gemetar dan dengan kalimat terpatah-patah….
            “ Mas, sampai saat ini aku masih istrimu. Aku yakin kamu tahu, bagaimana kegelisahanku ketika kerinduan itu datang. Seratus kali aku bertekat untuk tidak mencari penggantimu, seratus kali pula kerinduan itu hadir,
                                                                                    *
            Di luar sepi sekali, sesekali terdengar kepak kelalawar yang mencari makan. Langit mendung, purnama yang semestinya sudah muncul, kini disembunyikan awan pekat. Burung pungguk yang biasanya bekerja membuatkan rumah untuk rembulan kekasihnya, malam  ini tahu entah di mana. Tak lama hujan rintik pun turun, renyai menyentuh atap rumah. Dari dari kejauhan, di pematang sawah sayu-sayup terdengar lolong anjing liar yang mungkin sedang mengejar tikus sawah. Atau menurut kepercayaan segelintir orang, ia mungkin sedang melihat           
makhluk yang tak kasat mata.
                                                                                    *
            Jam dinding berdenting dua kali. Di tengah rasa kantuk yang masih berat, samar-samar pintu kamar diketuk. Dalam hati Bu Erma, “Ada apa Salma subuh-subuh begini?” Bu Erma bangun sambil menyimpul rambut, lalu beranjak menuju pintu. Begitu pintu dibuka, ia terperanjat, kaget bukan kepalang.
            “Lho, kamu ,Mas. Kapan ke sini.”
            Lelaki yang berpakaian serba putih itu tidak menjwab. Ia hanya tersenyum, kemudian berbalik ; berjalan memasuki kamar-kamar yang dulu ditempati oleh anak-anak Bu Erma. Bu Erma merasa panasaran, ia iringi saja di belakang. Terus, ia berjalan mengitari ruangan lain. Sampai di ruang tengah, ruang yang dulunya menjadi tempat keluarga bercengkerama dan menonton televisi, ia berhenti. Lalu menengadah, memandangai sebuah foto keluarga  yang tergantung di dinding, di atas lemari.  Cukup lama lelaki itu berdiri dan menengadah. Akan tetapi, tak sepenggala kalimat pun keluar dari bibirnya. Melihat keadaan demikian, Bu Erma makin penasaran. Barangkali merasa cukup, ia berbalik menghadap Bu Erma dengan kembali memberi sebuah senyuman. Kedua tangannya melepas surban hijau yang sejak tadi melingkar di kedua pundaknya. Surban tersebut lalu dikalungkannya ke lihir Bu Erma dengan sangat rapi. Terus, ia letakkan kedua tangannya di pundak Bu Erma sambil mengangguk –ngangguk seolah-olah memberi isyarat sesuatu untuk Bu Erma. Selanjut ia berbalik dan melangkah menuju pintu depan. Bu Erma memanggil.
            “Mas! Mau ke mana, mas?
            Lalaki itu tak menjawab. Ia terus saja melangkah. Bu Erma memanggil lebih keras
            “Mas, mau ke mana lagi? inikan rumahmu, rumah kita, Mas.”
            Kedua tangan Bu Erma menarik baju belakang laki-laki tersebut. Namun, tangannya tak menggapai apa-apak. Orang yang berpakaian serba putih terus berjalan. Bu Erma berteriak mencegahnya.
            “ Maaaaaas! Jangan pergi lagi! Jangan tinggalkan aku lagi,Mas!”  keras sekali.
            “Bu.. Ibu,! Ada apa, Bu? Kok Ibu ada di sini?” tanya Salma kaget, berlari dari  kamar sebelah. Salma adalah anak bungsu Bu Erma yang pulang kampung karena lagi libur kuliah.
            Bu Erma masih dalam sebuah ilusi. Salma mengangkat kedua lengan ibunya yang terduduk di lantai. Ia bimbing menuju kursi tamu. Setelah  itu ia berlari ke dapur mengambil segelas air putih.
            “ Minumlahlah, Bu”
             Setelah mulai tenang, ”Bu, coba cerita kepada Salma. Tadi ibu teriak-teriak, apa sebe-
             narnya yang terjadi pada Ibu?”
            “Bapakmu, Nak. Bapamu datang menemui ibu. Bapamu tersenyum pada ibu.” sambil terisak.
            “Lalu, mengapa Ibu samapai di sini.” Tanya Salma ingin jelas lagi.
            “ Ibu mengejar ayahmu. Makanya ibu sampai di sini.”
            “Ibu lagi mengigau.”
            ‘Tidak,Nak. Ini benar-benar nyata. Ini buktinya.”
            Bu erma menunjukkan selembar surban hijau yang dulu digunakan almarhun saat ke masjid, pengganti sajadah.
            “Aneh sekali, tapi ini kan surban ayah yang ibu simpan di lemari pakaian ibu.” ucap Salma membatin.
            Keesokan harinya,Minggu, Bu Erma mengajak Salma ke makam suaminya yang berjarak
kurang lebih tiga kilometer. Di atas pusara keduanya berdoa untuk almarhum.
                                                                                    *
Sepulang dari makam, Bu Erma kembali mengambil surban tadi. Ia tak habis pikir.                  “Kok bisa sih mimpiku seperti nyata. Padahal surban ini aku simpan rapi di lemari.
  Orang-orang pasti tidak percaya bila aku ceritakan. Ah, sudahlah, masa bodoh dengan
  mereka. Tapi…apa maksudnya Mas Syahid memberikan ini padaku? Apakah surban
  hijau ini sebagai isyrat darinya bahwa ia mengizinkanku untuk menikah lagi.” Lama
  sekali Bu Erma merenung sendirian dalam kamar.  
“Jika memang ini suatu isyarat, apakah aku benar-benar siap lahir batin untuk berumah
  tangga lagi? Dan seperti apa wujud laki- laki yang boleh masuk kamarku lagi?” Ibu Erma
  bertanya pada dirinya sendiri.
                                                                                    *
             Menjelang tidur Bu Erma ke belakang mengambil air wudu. Ia salat istiharah, memohon
 petunjuk,                                                                                                                                                     ”Yaa Rab, Engkaulah tempatku bermohon segala sesuatu.  Tolong beri hamba-Mu ini
  isyarat, jalan mana yang mesti aku pilih! Andai Engkau menginginku untuk menikah
  lagi, datangkan ke hadapanku seorang laki-laki yang tak kurang salehnya dibanding
  almarhum. Laki-laki yang bisa kujadikan imam dan tempatku menambatkan jiwa- raga.
Laki-laki yang tidak hanya mencintaiku, tapi juga mencintai anak dan cucu-cucuku. Dan
yang tak kalah pentinya Yaa Allah, ibarat pohon, hijaukan kembali daun  jiwaku ini agar
aku bisa berbunga lagi seperti awal aku menikah dengan almarhum. Kiranya semerbak
harum bungaku nanti bisa kupersembahkan kepadanya di setiap tarikan napasku.
               Aamin!”

                                                                                    **

Share:

0 comments:

PENGUMUMAN

- DOKUMENTASI PENGUMUMAN KELULUSAN BISA DIDOWNLOAD DIPOSTINGAN

- SULINGJAR GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN TERTANGGAL 11-20 AGUSTUS 2022

Translate