Karya : ErHaDi
Januari 2019. Siang itu cuaca begitu
terik, padahal dalam siklus tahunan,Januari merupakan bulan musim hujan. Aku baru beberapa menit duduk di sofa
ruang tamu dengan segelas teh yang tersedia tiap hari kerja. Lumayan lelah. Tiga
jam pelajaran aku berdiri di depan kelas 9B membedah DETIK-DETIK, buku
rangkuman materi Kisi-Kisi Ujian Nasional tahun ini. Baru dua tiga seduhan
kuhirup pelumas tenggorokan itu, Bu Yeti datang menemaniku ngobrol seputar
anak-anak yang masih ada ketahuan merokok ketika menuju dan pulang sekolah.
Ceritanya kutanggap seperlunya, maklum aku juga lagi berpikir serius, bagaimana
kiat agar siswa kelas sembilan yang berjumlah empat puluh lebih ini lulus
dengan nilai lebih bagus dari tahun lalu.
Belum
lima menit dialog kami berjalan, Bu Yeti yang merupakan guru BK, mendadak
beralih topik pembicaraan. Sambil sedikit menggeser tempat duduknya, ia membuka
kata…
“Pak!”
“Ya, ada apa, Bu?” jawabku singkat.
Siang itu kantor lagi agak sepi. Sebagian guru masuk kelas dan yang lagi lagi
tugas luar, mengikuti MGMP di kabupaten.
“Tolong bantu saya, Pak!”
“Iya, apa yang bisa kubantu,Bu.?”
“Begini, Pak,kemarin ayah dan ibu meminta saya untuk segera
menikah,kebetulan ada
lelaki yang berhasrat kepada saya.
“Wah, bagus dong. Berarti doaku terkabul. Lalu….?”
“Saya bingung, soalnya saya belum mengenal lebih jauh
kepribadian orangnya. Lagi pula
saya belum ada rasa padanya.”
“ Ah itu soal gampang. Bukankah
cinta itu bisa datang belakangan, alias sudah menikah.
Pacaran yang
halal itu adalah pacaran setelah ijab- kabul. Yah, istilah lainnya bulan
madu. Bu Yeti, cinta kita
terhadap pasangan bisa saja mengecambah
bila mendapat
sebuah rangsangan berupa perhatian yang cukup, pengertian, pandai
mengalah dan,
lain-lain. Yang tak kalah penting kamu pikirkan saat ini adalah, apakah maunya laki-
laki itu padamu didasarkan atas
sebuah ketertarikannya pada
kepribadianmu …. atau
hanya sekadar ingin hidup
menumpang pada kemapanan ekonomimu.”
Bu Yeti diam beberapa saat,
sepertinya dia sedang mencerna kata-kataku tadi.
Sementara
menunggu tanggapannya, kuraih gelas
minuman yang ada di depanku.
“Inilah masalahnya,Pak. Saya
benar-benar dihadapkan pada situasi yang serba sulit un-
tuk diputuskan. Tadi pagi, saat
sarapan,bapak kembali meminta kesediaan saya untuk
menerima lamaran itu. Saya hanya diam, takut bapak dan
ibu kecewa.
‘”Ti, dulu kamu menolak lamaran Darma dengan alasan kamu ingin membantu ayah
membiayai kedua adikmu yang masih kuliah. Nah,
sekarang, apalagi,Ti. Adikmu yang
perempuan sudah menikah.
Sementara Rahman sudah bekerja. Tidak ada lagi yang
menghalangimu untuk berumah
tangga.” ujar Ayah dengan nada mendesak.
“Bapa dan mamamu ini sudah cukup
sabar,Ti, mendengar suara-suara sumbang di luar
sana
tentang kamu.” timpal Mama.
“Sebenarnya saya mencoba menyelami
perasaan mereka berdua,Pak. Hati saya lagi
terbelah. Di satu sisi saya
tidak ingin membuat orang yang telah
melahirkan dan mem-
besarkan saya tersakiti oleh sikap saya. Namun, di sisi yang saya juga
punya hak untuk
menentukan pilihan.”
“Sudah, jika begitu masalahnya, kamu minta tempo untuk
berpikir. Lakukan istiharah,
mengadulah kepada Yang Mahatahu akan
segala persoalan. Setelah itu kamu baru
mengambil sikap, merima atau menolak
dengan manis. Andai dalam istiharah hatimu
terbuka untuknya, maka saranku setelah lamaran itu dilakukan
kamu wajib melakukan
MoU, yaitu sebuah perjanjian.
“Maksudnya,Pak?” ia menatapku
serius.
“Sampaikan kepada keluarga meraka bahwa kamu
ini adalah seorang PNS yang terikat
dengan
sumpah dan aturan. Misalkan dalam hal waktu, kamu tidak bisa diatur seke-
hendak
suamimu bila sudah menikah. Sebagai contoh, suamimu tidak bisa memaksa-
kan makan siang bersamamu tepat sehabis zuhur atau seperti kebiasaan
orang kam-
pung yang makan pulang dari sawah atau dari kebun. Katakan pada mereka
bahwa se-
jak
pukul setengah delapan sampai dengan
pukul setengh tiga kamu tersandera di
sekolah
karena itu jam kerja seorang pegawai negeri. Bila ia menginginkan selain itu,
maka sebaiknya ia mencari perempuan lain yang
bukan pengawai negeri.
*
Suasana
hening sejenak. Kulihat wajahnya sedikit tertunduk. Lalu….
“Andai
dalam istiharah nanti ada isyarat untuk menolak, apa yang mesti saya katakana
Kepada bapak dan ibu, juga kepada keluarga sebelah?”
“Begini.
Katakan saja pada ortumu bahwa perkawinan itu mesti dilandasi sebuah kese-
pakatan.
Calon suamimu wajib menerimamu secara apa
adanya, bukan seadanya.
Perkawainanmu nanti – jika terjadi- tidak sebatas
mengubah status dari Nona ke Nyo-
Nya,
atau hanya ingin mendapatkan keturunan. Katakan pada ortumu bahwa kamu
lebih bahagia menyandang pridikat perawan berumur
tak kawin-kami ketimbang
Maaf,
Bu Yeti, mungkin aku terlalu mengguruimu!”
“Oh,
tidak,Pak.” ia seperti terperanjat.
“Saya suka diberi solusi. Bapak sudah saya
anggap seperti
keluarga sendiri.
*
Kami
sama-sama menghela napas.
“Nah,
dengan keluarga sebelah gimana caranya menolak?”
“Katakan saja pada mereka bahwa saat ini kamu
belum bisa menjadi istri yang baik. Jadi
lebih
baik tidak diterima daripada nantinya berpisah, bersimpang jalan.”
Bu
Yeti, menurut asumsiku, janda ditinggal mati jauh lebih terhormat dibandingkan
dengan
janda dicerai hidup.
*
Aku diam.
Kubiarkan kembali ia membedah bahasaku tadi. Aku berdiri menekan tombol on
kipas angin yang sejak tadi hanya diam menyimak pembicaraan kami. Andai saja diberii
izin, mungkin saja ia ikut nimbrung
diskusi kami yang sudah berjalan
lebih dari seperempat jam.
Setelah kurasa cukup., aku
lanjutkan lagi.
“Bu Yeti, aku tegaskan lag,
perkawinan itu harus dilandasi sebuah kesepakatan. Sepakat
membagi rasa, sepakat saling
jujur, dan sebagainya.
“Perkawinan itu bukanlah akhir perjuangan
cinta sepasang kekasih, melainkan awal
kesepakatan untuk menyibak semua
rintangan yang siap menghadang. Ini juga pernah
kusampaikan kepada anak lelakiku
menjelang pernikahanya tempo hari. Hidup
ini
penuh dengan tikungan tajam. Bila kita kurang hati-hati,
kita bisa celaka karenanya.
Babak belur yang kita derita
belum tentu sembuh barang seminggu.
Lebih-lebih dalam berumah
tangga. Suami sebagai sopir wajib diingatkan oleh sang istri
yang duduk di samping. Jadi,
seorang istri bukanlah penumpang yang bisa tidur seenak-
nya. Ia tak ubahnya seorang
napigator dalam dunia balap mobil, yang selalumemberi-
kan
informasi keadaan jalan di depan. Aku rasa Ibu mengerti yang kumaksud?”
Ia mengangguk.
”Ya,Pak.”
*
Pembicaraan terputus ketika ada tamu yang mencari Kepala Sekolah.
Menjelang pulang, menuju parkiran…
“Malam nanti saya akan lakukan saran Bapak tadi.”
“Ya,Bu. Moga ada solusi.” aku membalas, lulu berpisah.
*
Seminggu
kemudian….
Di
ujung malam,menjelang subuh, dalam untaian doa untukku dan
keluargaku,seketika terbayang wajah Bu
Yeti. Tanpa dipandu lidahku langsung merangkai doa untuknya.
“Ya Rabb. kutahu Kau tak pernah tidur. Kau
tahu yang sedang menimpa diri sahabatku,
Bu
Yeti. Berikan pilihan sebaik-baik pilihan untuknya. Rabb, cinta-Mu begitu agung
bagi
kami. Berikanlah segegam cinta-Mu sebagai modal kami untuk mencintai-Mu
lebih
banyak lagi” Kututup doa itu
dengan beberapa tetes air mata.
*
Keesokan
harinya aku turun lebih awal mengingat hari itu aku tugas piket bersama Pa Rahmadi.
Kebiasaan kami di depan pintu masuk menyalami siswa yang akan menuju kelas
masing-masing. Agar wudu kami tak batal menyalami murid lawan jenis, kami
menggunakan sarung tangan tipis. Pukul tujuh tiga puluh semua siswa berbaris di
depan kelas dengan senandung lagu Indonesia Raya tiga oktaf . Siswa masuk dan
berdoa yang dilanjutkan membaca surat-surat pendek.
Di
meja piket aku menulis catatan harian seputar kegiatan hari itu, termasuk siswa
yang tidak hadir.
Dari
arah parkeran guru, masih agak jauh, Bu Yeti menyapaku.
“Pak,Hadi!” sambil berjalan ke arahku dengan raut wajah enteng.
“Oh,Ibu. Gimana kabarnya,nih? Baik-baik saja,kan?” jawabku sambil
menadai siswa
yang absen.
“Alhamdulillah,nanti kita bicara.” sambil tersenyum,
terus berlalu masuk ke ruang guru meletakkan tas kerjanya.
“Ya,Bu.”
*
Hari ini aku mengajar cuma dua jam, di kelas delapan, agak siang. Seperti
biasa kuhidupkan on Samsung Androit-ku. Kubuka youtobe mencari ceramah ustaz-ustaz idolaku, semisal UAS, Ustaz Adi
Hidayat,dll. Di ruang guru sedikit sepi kerana enam orang guru masuk
Kelas, ada yang
di ruang komputer, dan sebagiannya
sibuk dengan HP-nya masing-masing.
Dari
arah pintu ruang guru, Bu Yati memanggilku.
Aku beranjak menemuinya. Aku pikir pasti ada kaitannya dengan persolan kemarin.
Oh, ternyata benar. Bu Yeti mau
menceritakan
perihal hasil
istiharahnya..
“Pak, saya sudah lakukan apa yang Bapak sarankan.Saya berpasrah meninta petunjuk.
Ternyata
hasilnya hati saya masih terasa berat mengabulkan harapan lelaki itu, juga
harapan
ortu saya.” Saya sudah berbicara dengan ayah dan ibu.”
“
Bagaimana tanggapan mereka? desakku sudah tak sabar.
“Saya
utarakan di hadapan ayah dan ibu semua yang Bapak uraikan tempo hari. Kedua-
nya bisa memahami.
“Iya,Yeti,
bagaimanapun yang menikah adalah kamu, bukan kami. Jadi yang bisa
menangkap sinyal negatif ke depan adalah kamu sendiri. Kami juga tak
rela melihatmu
menderita dalam rumah tanggamu nanti.” ujar ayah.
“Ibu
sambil mengusap air mata, `Benar apa kata ayahmu,nak. Kami ingin melihatmu
bahagia seperti adik perempuanmu. Moga kami diberi panjang umur sehingga
bisa
melepasmu dalam bahtera rumah tangga dengan lelaki pilihanmu, lelaki
yang men-
cintaimu
lahir batin, bukan lelaki yang hanya pandai mendustaimu.” kata Bu Yeti
menirukan ibunya.
*
“Pak,
malam yang lalu, selesai salat isya aku
masuk ke kamar Ibu. Beliau masih duduk
di selembar sajadah. Saya tunggu
sampai Ibu selesai berdoa. Saya peluk ibu erat-erat,
sambil
saya bersiki, “Bu, maafka anakmu ini yang sudah banyak menyusahkanmu.”
“Tidak,nak.
Justru kami yang berdosa padamu, terlalu memaksakan kehendak.Kami
lupa bahwa kamu sudah dewasa.”
“Hati
saya makin luluh,Pak.Terus pagut dan saya ciumi pipinya yang sudah mulai
keriput .Saya menangis sejadi-jadinya.Jiwa
saya terbang entah ke mana. Tak saya
sadari
,saya sudah berada dalam pangkuan Ibu. Ia belai rambut saya yang tergerai.
“Ibu
sangat sayang kamu,Nak”
“Saya
juga,Bu”
Saya tengadah wajahnya…dan beberapa butiran
bening jatuh di atas wajah saya.”
*
Hening sejenak. Aku ikut terharu, hanyut dalam
alur cerita Bu Yeti.
“
Pihak sebelah sudah kamu sampaikan juga dalih yang sama?” kusambung lagi.
“ Iya,Pak.
Saya langsung telepon adiknya yang sejak awal menjadi wakil dari keluarga
mereka. Intinya, adiknya bisa
menerima alasan yang saya kemukakan. Di akhir telepon
tersebut
saya tak lupa berharap agar hubungan antara kami tetap baik seperti sedia
kala. Sebenarnya kami masih ada hubungan keluarga dengan mereka. Lelaki
itu kakak
kelas saya,lho,Pak, di MTs dulu.”
Ah, jika begitu, baguslah. Saya juga ikut lega.”
*
Jika
boleh jujur, aku sebenarnya gembira andai ada titik temu keduanya. Akan tetapi,
ya apa mau dikata jika memang Tuhan sudah berkehendak demikian.
Sampai sekarang aku terus menerawang, mencoba mencari tahu, apa sih sebenarnya
yang membuat hati Bu Yeti tertutup terhadap laki-laki tersebut, termasuk
seorang duda beranak satu yang telah menyatakan ketertarikannya lewat WA yang
Ibu Yeti tunjukkan padaku. Meski tak valid, kucoba membuat sebuah kesimpulan
bahwa ketertutupan hati Bu Yeti terhadap beberapa laki-laki - tak kurang dari
empat atau lima orang - adalah: Pertama, ia sulit melupakan kesan cinta
pertamanya yang ia dapatkan dari seseorang, meski kini orang tersebut tak ada
di sampingnya. Ini barangkali makna peribahasa Arab, HUBBUL AWWALU KANNAKSI
`ALAL HAJAR ( Cinta pertama itu laksana mengukir di atas batu). Kedua, ia trauma lantaran dihianati atau
didustai berkali – kali oleh laki-laki yang tadinya sempat menyemai benih kasih,
tetapi berbuah PHP. Ketiga, di otaknya tertancap sebatang jarum kengerian yang
disebabkan adanya potrit suram rumah
tangga orang dekatnya atau sahabatnya. Dengan demikian, Ia terus berhalusinasi
bayangan hitam yang menghantui setiap ada laki-laki yang ingin dekat dengannya.
*
Beberapa
hari yang lalu saat tasmiahan kepenakannya kubisikan ditelinganya ketika ia
berjungku meletakan beberapa panganan di samping kananku.
”Cepat
kawin agar bisa seperti ini!” Dibayarnya bisikan itu dengan seulas senyum yang
mungkin bisa meluluhkan hatinya sendiri
nanti. Semoga….
**
1 comments:
ok juga cerpennya...
Posting Komentar