Karya : ERhadi
“Tujuh
tahun berlalu
hidup tanpa suami. Tak ada lagi tempatku bernaung, menyandar-kan tubuh ketika
letih, tempat mengadu manakala hati sedang risau. Bila siang hari, atau masih
bersama anak-anak dan cucu-cucuku, jiwaku utuh seperti tak pernah terjadi
apa-apa. Namun, ketika semua pulang ke tempat masing-masing, aku baru merasa terasingkan.
Peristiwa masa lalu merayapi pikiranku, masa yang padihnya tak mampu kuungkapkan
dengan kata-kata. Separuh jiwaku terbang. Gempa yang pernah menggoncang
penduduk negeri, belum sebanding dengan gempa yang meluluhlantakkan jiwaku.”
*
“Sebagai seorang perempuan normal,
aku juga merindukan suasana seperti almarhum masih ada, pergi bersama, makan
bersama,dan …. tidur bersama di kasur yang sama. Sebelum memejam mata,
berbicang seputar ana-anak dan masa depan mereka, tentang pekerjaan di kantor,
dan lain -lain. Kubayangkan kembali, bagaimana di tengah rasa kantuk yang
berat, ia masih sempat membelai rambutku yang tergerai di bantal dan mengucapkan kata-kata
yang mungkin hanya kami yang tahu maknanya.”
Ketika menjelang subuh, ia sudah berdiri di
pinggir ranjang dengan buju koko dan
sarung yang rapi. Diucapkannya kembali kata-kata serupa yang membuatku ingin
terus berlama-lama di sampingnya. Ia sangat pandai memanjakanku, membuat diri
ini tak mungkin berlabuh ke lain hati meski digoda seribu pangeran dari negeri
seberang. Duhai, mungkingkah romatisme seperti itu kembali kukecap sampai
jasadku menjadi kaku.
*
“Di puncak lamunan, kupeluk guling
yang biasa didekap suamiku. Kuciumi dengan segala kemesraan; ketenggelam
wajahku padanya dan kusiram dengan seluruh air mata. Tangisku makin jadi,
tangis kerinduan seorang perempuan yang pernah mereguk secawan madu kasih yang
murni.” kenang Bu Erma.
*
Suatu ketika,saat ia ziarah ke makam
ayah dan ibunya di Banjarmasin, tiba-tiba saja di tengah jalan menuju rumah,
kakak perempuannya barkata,
“Er, sebaiknya kamu menikah lagi!’
Bu Erma cuma bisa diam. Ia
belum mampu menjawab ya atau tidak
karena di kepalanya saat ini ada dua kekuatan yang saling tindih untuk
menguasai kakinya buat melangkah. Di depan ada dua jalan yang sama-sama sulit
untuk ia lewati.
*
“Er, hari ini kamu tinggal sendiri
di rumah. Entah sampai kapan kamu bisa nyaman men-
jalani kehidupan seperti saat
ini.” sambung kakanya sudah sampai di rumah.
“Kamu hidup di hari ini, bukan di
hari tujuh tahun yang lalu,Er. Kita ini
sudah tidak muda
lagi. Artinya kita tidak sekuat
dahulu memecahkan setiap persoalan yang hadir. Bagi
kakak, kamu itu memelukan seorang lelaki yang
setiap saat mau membuka dadanya
untukmu ; tempatmu menumpah berbagai
persoalan. Apalagi saat ini tinggal satu saja
anakmu yang masih dalam
tanggunganmu. Kakak rasa, itu bukan halangaan untuk
membuka kembali pintu rumahmu
buat seorang laki-laki yang baik.
*
Sambil mengangkat wajahnya,”Itulah
masalahnya,Kak. Aku takut kadar cintaku terkurangi pada anak-anakku ketika
hadirnya seorang lelaki yang baru di
rumahku. Di sisi lain, aku pun tak mau
jadi istri yang durhaka, lantaran kurang perhatian pada suami manakala
anak-anakku membutuhka aku.”
“Kakak paham itu. Kita ini sama-sama perempuan, adikku. Apakah tidak
ada kerinduan sedik pun di hatimu bagaiman
indahnya saat menunggui suamimu makan, menambahkan nasi yang ada di piringnya;
menuangkan air ke gelasnya yang sudah berkurang. Itu ladang pahala,Er. Kakak ini meski sudah sama-sama tua, tetapi kakak masih
mencoba sedapat-dapatnya melakukan itu. Kusambut Mas Herman di depan pintu sehabis
ia pulang kerja atau bepergian;
kusiapkan handuk dan sikap gigi saat ia mandi; kurapikan temapt tidur manakala
ia sudah mengantuk; kuhidupkan pula kipas angin ketika ia kegeraha…. atau kuselimuti
manakala ia kedinginan. Pokoknya, semua kucurah, kutumpah habis untuknya,
imamku, kekasihku yang telah memberiku
segalanya. Ayolah adikku!”
Suasan hening beberapa saat. Bu Erma
mengambil selembar tisu buat wajahnya yang sudah mulai membasah. Ia permisi mau
ke kamar. Di kasur Bu Erma melemparkan badannya dengan posisi tengkurap. Dadanya
sesak. Ia perturutkan saja air matanya yang jatuh berderai. Di luar, di ruang keluarga, Bu Husna, kakak Bu
Erma mamatikan TV, lalu menyusul Bu Erma ke kamar almarhum ibu mereka.
Bu Husna membelai rambut adiknya.
“Er, maafkan kakak. Kakak tidak bermaksud
lain, semata-mata hanya ingin melihatmu
bahagia. Kakak ingin matahati itu kembali menyinari rumahmu hingga ke
sudut-sudut yang gelap.
Bu Erma membalikan badan, lalu
duduk. Mereka berpelukan pertanda saling menya-
yangi.
Bu Erma melepaskan pelukannya. Ia
menyimpul rambutnya yang tadi tergerai. Lalu…
“Aku pertimbangkan saran kakak.”
Menerima jawaban yang begitu cepat,
Bu Husna tersenyum bahagia.
“Bagus. Kakak senang mendengarnya.
Namun,bila sudah ada keinginanmu ke arah itu,
lakukan dulu komunikasi pra
nikah, artinya katakan saja padanya dengan terus terang
bahwa saat ini kamu masih ada
tanggungan satu anak yang terus memerlukan
perhatian. Katakan saja! Jangan
ada yang ditutupi-tutupi. Jika dia benar- benar meng-
inginkanmu menjadi
istri, dia pasti mau menerima kenyataan itu.”
*
Keesokan harinya Bu Erma pulang. Ia harus
turun kerja. Di kantor sudah menunggu
seabrik pekerjaan.
*
Larut malam, sahabis ritual Haulan suaminya,
Bu Erma menatap foto keluarga semasa almarhum masih ada, foto yang tergantung
di ruang tengah. Matanya fokus pada
seorang laki-laki yang ada di foto figura
tersebut. Lama sekali ia mematung, seolah- olah ia sedang bicara
padanya. Tak puas, lalu ia turun. Dengan jari gemetar dan dengan kalimat
terpatah-patah….
“ Mas, sampai saat ini aku masih
istrimu. Aku yakin kamu tahu, bagaimana kegelisahanku ketika kerinduan itu datang.
Seratus kali aku bertekat untuk tidak mencari penggantimu, seratus kali pula
kerinduan itu hadir,
*
Di luar sepi sekali, sesekali
terdengar kepak kelalawar yang mencari makan. Langit mendung, purnama yang
semestinya sudah muncul, kini disembunyikan awan pekat. Burung pungguk yang
biasanya bekerja membuatkan rumah untuk rembulan kekasihnya, malam ini tahu entah di mana. Tak lama hujan rintik
pun turun, renyai menyentuh atap rumah. Dari dari kejauhan, di pematang sawah
sayu-sayup terdengar lolong anjing liar yang mungkin sedang mengejar tikus
sawah. Atau menurut kepercayaan segelintir orang, ia mungkin sedang melihat
makhluk
yang tak kasat mata.
*
Jam
dinding berdenting dua kali. Di tengah rasa kantuk yang masih berat,
samar-samar pintu kamar diketuk. Dalam hati Bu Erma, “Ada apa Salma subuh-subuh
begini?” Bu Erma bangun sambil menyimpul rambut, lalu beranjak menuju pintu.
Begitu pintu dibuka, ia terperanjat, kaget bukan kepalang.
“Lho, kamu ,Mas. Kapan ke sini.”
Lelaki yang berpakaian serba putih
itu tidak menjwab. Ia hanya tersenyum, kemudian berbalik ; berjalan memasuki
kamar-kamar yang dulu ditempati oleh anak-anak Bu Erma. Bu Erma merasa panasaran,
ia iringi saja di belakang. Terus, ia berjalan mengitari ruangan lain. Sampai
di ruang tengah, ruang yang dulunya menjadi tempat keluarga bercengkerama dan
menonton televisi, ia berhenti. Lalu menengadah, memandangai sebuah foto
keluarga yang tergantung di dinding, di
atas lemari. Cukup lama lelaki itu
berdiri dan menengadah. Akan tetapi, tak sepenggala kalimat pun keluar dari
bibirnya. Melihat keadaan demikian, Bu Erma makin penasaran. Barangkali merasa
cukup, ia berbalik menghadap Bu Erma dengan kembali memberi sebuah senyuman.
Kedua tangannya melepas surban hijau yang sejak tadi melingkar di kedua
pundaknya. Surban tersebut lalu dikalungkannya ke lihir Bu Erma dengan sangat
rapi. Terus, ia letakkan kedua tangannya di pundak Bu Erma sambil mengangguk
–ngangguk seolah-olah memberi isyarat sesuatu untuk Bu Erma. Selanjut ia
berbalik dan melangkah menuju pintu depan. Bu Erma memanggil.
“Mas! Mau ke mana, mas?
Lalaki itu tak menjawab. Ia terus
saja melangkah. Bu Erma memanggil lebih keras
“Mas, mau ke mana lagi? inikan
rumahmu, rumah kita, Mas.”
Kedua
tangan Bu Erma menarik baju belakang laki-laki tersebut. Namun, tangannya tak
menggapai apa-apak. Orang yang berpakaian serba putih terus berjalan. Bu Erma
berteriak mencegahnya.
“ Maaaaaas! Jangan pergi lagi!
Jangan tinggalkan aku lagi,Mas!” keras
sekali.
“Bu.. Ibu,! Ada apa, Bu? Kok Ibu ada
di sini?” tanya Salma kaget, berlari dari
kamar sebelah. Salma adalah anak bungsu Bu Erma yang pulang kampung
karena lagi libur kuliah.
Bu Erma masih dalam sebuah ilusi. Salma mengangkat kedua lengan
ibunya yang terduduk di lantai. Ia bimbing menuju kursi tamu. Setelah itu ia berlari ke dapur mengambil segelas air
putih.
“ Minumlahlah, Bu”
Setelah mulai tenang, ”Bu, coba cerita kepada
Salma. Tadi ibu teriak-teriak, apa sebe-
narnya
yang terjadi pada Ibu?”
“Bapakmu, Nak. Bapamu datang menemui
ibu. Bapamu tersenyum pada ibu.” sambil terisak.
“Lalu, mengapa Ibu samapai di sini.”
Tanya Salma ingin jelas lagi.
“ Ibu mengejar ayahmu. Makanya ibu
sampai di sini.”
“Ibu lagi mengigau.”
‘Tidak,Nak. Ini benar-benar nyata.
Ini buktinya.”
Bu erma menunjukkan selembar surban
hijau yang dulu digunakan almarhun saat ke masjid, pengganti sajadah.
“Aneh sekali, tapi ini kan surban
ayah yang ibu simpan di lemari pakaian ibu.” ucap Salma membatin.
Keesokan harinya,Minggu, Bu Erma
mengajak Salma ke makam suaminya yang berjarak
kurang
lebih tiga kilometer. Di atas pusara keduanya berdoa untuk almarhum.
*
Sepulang dari makam, Bu Erma kembali
mengambil surban tadi. Ia tak habis pikir. “Kok bisa sih mimpiku seperti
nyata. Padahal surban ini aku simpan rapi di lemari.
Orang-orang pasti tidak percaya bila aku ceritakan. Ah, sudahlah, masa
bodoh dengan
mereka.
Tapi…apa maksudnya Mas Syahid memberikan ini padaku? Apakah surban
hijau
ini sebagai isyrat darinya bahwa ia mengizinkanku untuk menikah lagi.” Lama
sekali Bu
Erma merenung sendirian dalam kamar.
“Jika memang ini suatu isyarat,
apakah aku benar-benar siap lahir batin untuk berumah
tangga
lagi? Dan seperti apa wujud laki- laki yang boleh masuk kamarku lagi?” Ibu Erma
bertanya pada dirinya sendiri.
*
Menjelang tidur Bu Erma ke belakang mengambil
air wudu. Ia salat istiharah, memohon
petunjuk,
”Yaa Rab, Engkaulah tempatku bermohon
segala sesuatu. Tolong beri hamba-Mu ini
isyarat, jalan mana yang mesti aku pilih!
Andai Engkau menginginku untuk menikah
lagi, datangkan ke
hadapanku seorang laki-laki yang tak kurang salehnya dibanding
almarhum. Laki-laki
yang bisa kujadikan imam dan tempatku menambatkan jiwa- raga.
Laki-laki yang tidak hanya
mencintaiku, tapi juga mencintai anak dan cucu-cucuku. Dan
yang tak kalah pentinya Yaa Allah,
ibarat pohon, hijaukan kembali daun jiwaku
ini agar
aku bisa berbunga lagi seperti awal
aku menikah dengan almarhum. Kiranya semerbak
harum bungaku nanti bisa
kupersembahkan kepadanya di setiap tarikan napasku.
Aamin!”
**
0 comments:
Posting Komentar